Minggu, 08 Januari 2012

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Wawan Hermawan Al-Ghifary

BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Pendidikan Idealisme
1. Realitas
Filsafat idealime memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Parmenides, filosof dari Elea (Yunani Puba), berkata, "Apa yang tidak dapal dipikirkan adalah tidak nyata". Plato seorang filosof idelisme klasik (Yunani Purba), menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita. Dunia cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah, dan asli serta abadi. Realitas akhir tersebut sebetulnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia. Schoupenhaur menyatakan bahwa "dunia adalah ide saya ". Menurut Hegel, dunia adalah roh yang mengungkapkan diri dalam alam, dengan maksud agar roh tersebut sadar akan dirinya sendiri. Hakikat roh dapat berupa ide atau pikiran. Mereka dapat mewakili pandangan metafisika idealisme.
Bagi penganut aliran idealisme, fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Oleh karena itu, jasmani atau badan sebagai materi merupakan alat jiwa, alat roh, untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia.
Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya, yakni apa yang disebut "mind". Mind merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak memiliki apa-apa.       
Selanjutnya, idelaisme tidak menolak eksistensi dunia fisik di sekeliling kita, seperti rumah, pepohonan, binatang, matahari, bintang-­bintang yang muncul terlihat pada malam hari. Mereka berpandangan bahwa kenyataan-kenyataan seperri itu merupakan manifestasi dari realitas yang hanya memenuhi kebutuhan fisik.
Realitas mungkin bersifat personal, dan mungkin juga bersifat impersonal. ldealisme Katolik berpandangan bahwa realitas akhir adalah "God" dari tiga pribadi yang disebut "Trinitas". Kaum idealisme Kristiani sepakat dengan idealisme lainnya bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang menggunakan kemauan bebas (free will), dan secara personal bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya.
2. Pengetahuan
Tentang tori pengetahuan, idealisme mengemukakan pan­dangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya (bayangan), yang menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya, Pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spiritual murni dan benda-benda di luar penjelmaan material. Demikian menurut Plato. Idealisme metafisika percaya bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang realitas, karena realitas pada hakikatnya spiritual, sedangkan jiwa mansusia merupakan bagian dari substansi spiritual tersebut.
Hegel menguraikan konsep Plato tentang teori pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis, maka pengetahuan manusia tentang realitas adalah benar dalam arti sistematis.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa, teori pengeta­huan idealisme adalah rasionalisme. Dalam hal iiu Henderson (1959 : 215' mengemukakan bahwa :
The rationalist argue that our sense give us but the raw material from which knowledge comes. Knowledge, say they, is not to be found in sense perception of particulars but in concept, in prinsiple, which our sense cannot possibly furnish us; the mind itsef is active, an organizer and systemalizer of our sensory experience. For the rationalist, mathematic furnishes the correct pattern for though.
Jadi, rasionalisme mendasari teori pengetahuan idealisme, mengemukakan bahwa indera kita hanya memberikan materi mentah bagi pengetahuan. Pengetahuan tidak ditemukan dari pengalaman indera, melainkan dari konsepsi, dalam prinsip-prinsip sebagai hasil aktivitas jiwa. Jiwa manusialah yang mengorganisasikan pengalaman indera. Matematika melengkapi pola berpikir manusia. Dengan matematika manusia mampu mengembangkan inteleknya. Sains fisik tidak akan berkembang tanpa menggunakan metematika. Indera dapat menipu manusia yang berpilar, tidak sesuai antara pengamatan sebagai laporan indera dengan kenyataan, apalagi pengamatan indera bisa dipengaruhi oleh ilusi, halusinasi, dan fantasi.
3. Nilai
Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagian dari alam semesta.
Plato mengemukakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagi hidup baik, mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral. Kejahatan terjadi karena orang tidak tahu bahwa perbuatan tersebut jahat. Jika seseorang menemukan sesuatu yang benar, maka orang tersebut tidak akan berbuat salah. Namun, yang menjadi persoalan adalah, bagaimana hal tersebut dapat dilakukan apabila manusia memilih pandangan yang sangat berbeda dalam pikirannya tentang hidup yang baik. Dalam hal ini Plato menjawab, bahwa hakikat penemuan hidup yang baik merupakan tugas intelektual, seperti halnya menemukan kebenaran matematika. Selanjutnya Plato mengemukakan, bahwa kehidupan yang baik hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang ideal yang diperintah oleh "The pnilopher kings", yaitu kaum intelektual, para ilmuwan, atau para cendekiawan.
Immanuel Kant sebagai tokoh idealisme modern meletakan dasar-dasar moral atas dasar hukum yang disebut "categorical imperative ", seperti yang ditulis oleh Isneller (1971 : 33) sebagai berikut :
"Kant's ideal community consisted of men who treated one another as end rather than means. His famous ‘categorical imperative' state that we should always act as though our individual actions were to become a universal law of nature, binding on all men in similar circumtances".
Menurut Kant, kita harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat Imperative kategoris dari Kant menyatakan bahwa kita akan selalu bertindak seakan-akan tindakan individual kita menjadi bagian universal dari alam ini, mengikat seluruh manusia dalam keadaan yang sama.
Imperative kategoris dari Kant menunjukkan rasa kewajiban atas tugas tanpa syarat dan predikat, apakah itu disebut taat atau loyal. Hukum moral tersebut menyatakan bahwa tiap manusia harus selalu melakukan sesuatu yang oleh semua manusia tindakan tersebut wajib dilakukan dimana pun. Misalnya suatu kewajiban bagi manusia untuk berlaku "jujur", "adil", "ikhlas", "pemaaf ', "kasih sayang sesama ma­nusia". Oleh karena itu, semua merupakan kebaikan universal.
Mengenai pandangan Kant, Henderson (1959: 103) mengemu­kakan, "Every human being look upon himself as an end, that is, of value in and of himself He is not, in his own eyes, valuable only as a means to something else. He has value, infinite value, as a human being". Imperative kategoris dan imperative praktis merupakan perlakuan dan pembuatan kemanusiaan, baik mengenai diri sendiri maupun orang lain. Pandanglah manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata. Setiap manusia memandang dirinya sebagai tujuan, sebagai nilai yang datang dan berada dalam dirinya sendiri. la, menurut pandangannya sendiri, tidak dapat dianggap sebagi alat untuk mencapai tujuan orang lain. Manusia memiliki nilai dan harkat kemanusiaan yang tidak terbatas sebagai makhluk manusia.
4. Pendidikan
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberi sumbangan yang besar tehadap perkembangan teori pendidikan, khususnya filsafat pendidikan. Tokoh idealisme merupakan orang­-orang yang memiliki nama besar. Sampai sekarang orang akan mengakui kebesaran hasil pemikiranya, baik memberikan persetujuannya maupun memberikan kritik, bahkan penolakan.
Plato, Immanuel hant, David Hume, Hegel, Al-Gazali, merupakan orang-orang yang memiliki nama besar di kalangan para pemikir dewasa ini. Idealisme Hegel berpengaruh di Amerika Serikat, seperti W.T. Harris telah menerapkan fiLsafat Hegel dalam mempelajari masalah-masalah pendidikan. Bahkan John Dewey sebagai tokoh pragmatisme, memulai filsafatnya sebagai penganut paham Hegel, di mana dapat kita simak bahwa filsafat Dewey mulai atau mencoba mencari kesatuan di antara pertentangan-pertentangan ( dimulai dengan dialektika Hegel). Begitu pula kita lihat, Karl Rosenkranz dan Herman H. Home merupakan orang-orang yang mennyuarakan filsafat pendidikan idealisme. Al-Gazali, tokoh idealisme sebagai pelopor sufisme dalam ajaran Islam yang hidup antara 1059-1111. Jauh sebelum filosof-filosof tersebut di atas, pandangan-pandangan idealisme Al-Gazali sangat dikagumi. Bahkan dalam Islam, pengikut Syafiiah pada umumnya mengikuti pandangan-­pandangan Al-Gazali.
Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat idealisme metafisik, yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitasnya. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuian batin antara anak dan alam semesta. "It must emphasize the innate harmony between man and the universe" (Kneller, 971 : 9). Selanjutnya, menurut Home, pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dan perkembangan mental maupun fisik, bebas, dan sadar terhadap Tuhan, dimanifestasikan dalam lingkungan intelektual, emosional, dan berkemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan, yaitu pribadi manusia yang ideal.
Seorang guru yang menganut paham idealisme harus membimbing atau mendiskusikan bukan sebagai prinsip-piuisip eksternal kepada siswa, melainkan sebagai kemungkinan­-kemungkinan (batin) yang perlu dikembangkan. Guru idealis juga harus mewujudkan sedapat mungkin watak yang terbaik. Socrates, Plato, dan Kant yakin bahwa pengetahuan yang terbaik adalah pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri siswa, bukan dimasukkan atau dijejalkan ke dalam diri siswa.
Sehubungan dengan teori pengetahuan, intelek atau akal memegang peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses belajar mengajar. Mereka yakin bahwa akal manusia dalpat mem­peroleh pengetahuan dan kebenaram sejati. Jadi, pengetahuan yang diajarkan di sekolah harus bersifat intelektual. Filsafat, logika, bahasa, dan matematika akan memperoleh porsi yang besar dalam kurikulum sekolah. Inilah konsep pendidikan yang berdasarkan pandangan idealisme.
Yang terakhir barkaitan dengan teori nilai, kepada para siswa hendaknya diajarkan nilai-nilai yang tetap, abadi dan bagaimana melaksanakannya yang bersesuian dengan pencipta nilai, pencipta alam semesta. Letakkan anak selaras dengan keseluruhan batin yang ia miliki. Siswa akan menyadari bahwa kejahatan tidak hanya akan mengganggu dirinya, mengganggu masyarakat dan umat manusia, tetapi akan mengganggu seluruh roh dalam jagat raya ini. Nilai itu signifikan sepanjang berkaitan dengan tata nilai spiritual yang sem­purna dari alam semesta, suatu aturan di mana guru dapat menjelas­kannya kepada siswa. Kejahatan terjadi karena ketidakberesan dan kesalahan sistem yang terdapat pada alam semesta. Di sekolah tidak ada siswa yang betul-betul jahat, melainkan hanya ada siswa yang telah menyimpang atau tidak sepenuhnya memahami nilai-nilai yang fundamental yang terdapat pada alam semesta.
Menurut Kant, guru harus memandang anak sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Guru harus bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia merupakan contoh yang baik untuk diterima oleh siswanya. Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi, yang berasal dari Tuhan.
Power (1982 : 89) mengemukakan implikasi filsafat pendi­dikan idealisme sebagai berikut :
1) Tujuan Pendidikan
            Pendidikan formal clan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.
2) Kedudukan siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya/bakatnya.
3) Peranan guru
Bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa.
4) Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
5) Metode                                                       
Diutamakan metode dialektika, tetapi metode lain yang efektif dapat dimanfaatkan.
B. Filsafat Pendidikan Realisme
Pada dasarnya realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berbeda dengan materialisme dan idealisme yang bersifat monistis. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak, dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan sebagai objek pengetahuan manusia.
Realisme merupakan aliran filsafat yang memiliki beraneka ragam bentuk. Kneller membagi realisme menjadi dua bentuk, yaitu : realisme rasional,  dan realisme naturalis.

1. Realisme Rasional
Realisme rasional dapat didefinisikan pada dua aliran, yaitu raelisme klasik dan realisme religius. Bentuk utama dari realisme religius ialah "Scholastisisme ". Realisme klasik ialah filsafat Yunani yang pertama kali dikembangkan oleh Aristoteles, sedangkan realisme. religius, terutama scholastisisme oleh Thomas Aquina, dengan menggunakan filsafat Aristoteles dalam membahas teologi gereja. Thomas Aquina menciptakan filsafat baru dalam agama Kristen, yang disebut tomisme, pada saat filsafat gereja dikuasai oleh neoplatonisme yang dipelopori oleh Plotinus.
Realisme klasik maupun realisme religius menyetujui bahwa dunia materi adalah nyata, dan berada di luar pikiran (ide) yang mengamatinya. Tetapi sebaliknya, tomisme berpandangan bahwa materi dan jiwa diciptakan oleh Tuhan, dan jiwa lebih penting daripada materi karena Tuhan adalah rohani yang sempurna. Tomisme juga mengungkapkan bahwa manusia merupakan suatu perpaduan/kesatuan materi dan rohani, di mana badan dan roh menjadi satu. Manusia bebas dan bertanggung jawab untuk bertindak, namun manusia juga abadi lahir ke dunia untuk mencintai dan mengasihi pencipta, karena itu manusia mencari kebahagian abadi.
a.  Realisme klasik
Realisme klasik oleh Brubacher (1954) disebut humanisme rasional. Realisme klasik berpandangan bahwa manusia pada haki­katnya memiliki ciri rasional. Dunia dikenal melalui akal, dimulai dengan prinsip ‘self evident’, di mana manusia dapat menjangkau kebenaran umum. Self evident merupakan hal yang penting dalam filsafat realisme karena evidensi merupakan asas pembuktian tentang realitas dan kebenaran sekaligus. Self evident merupakan suatu bukti yang ada pada diri (realitas, eksistensi) itu sendiri. Jadi, bukti tersebut bukan pada materi atau pada realitas yang lain. Self evident merupakan asas untuk mengerti kebenaran dan sekaligus untuk membuktikan kebenaran. Self evident merupakan asas bagi pengetahuan artinya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan atau kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan tentang Tuhan, sifat-sifat Tuhan, eksistensi Tuhan, adalah bersifat self evident. Artinya, bahwa adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain, sebab Tuhan itu self evident. Sifat Tuhan itu Esa, artinya Esa hanya dimiliki oleh Tuhan, tidak ada yang menyamainya terhadap sifat Tuhan tersebut. Eksistensi Tuhan merupakan prima kausa, penyebab pertama dan utama dari segala yang ada, yakni merupakan penyebab dari realitas alam semesta. Sebab, dari semua kejadian yang terjadi pada alam semesta. Tujuan pendidikan bersifat intelektual. Memperhatikan intelektual adalah penting, bukan saja sebagai tujuan, melainkan dipergunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah.
Bahan pendidikan yang esensial bagi aliran ini, yaitu pengalaman manusia: Yang esensial adalah apa yang merupakan penyatuan dan pengulangan dari pengalaman manusia. Kneller (1971) mengemukakan bahwa realisme klasik bertujuan agar anak menjadi manusia bijaksana, yaitu seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan fisik dan sosial. "For the classical realist the purpose of education is enable the pupil to become an intellectually well-balanced person, as against one who is symply well adjusted to the physical and social emvironment ".
Menumt Aritoteles, terdapat aturan moral universal yang diperoleh dengan akal dan mengikat manusia sebagai makhluk rasional. Di sekolah lebih menekankan perhatiannya pada mata pelajaran (subject matter), namun, selain itu, sekolah harus menghasilkan individu-individu yang sempurna. Menurut pandangan Aristoteles, manusia sempurna adalah manusia moderat yang mengambil jalan tengah. Pada anak harus diajarkan ukuran moral absolut dan universal, sebab apa yang dikatakan baik atau benar adalah untuk keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk suatu ras atau suatu kelompok masyarakat tertentu. Hal ini penting bagi anak untuk mendapatkan kebiasaan baik. Kebaikan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dipelajari.
b. Realisme religius
Realisme religius dalam pandangannya tampak dualistis. la berpendapat bahwa terdapat dua order yang terdiri atas "order natural" dan "order supernatural". Kedua order tersebut berpusat pada Tuhan. Tuhan adalah pencipta semesta alam dan abadi. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri, guna mencapai yang abadi. Kemajuan diukur sesuai dengan yang abadi tersebut yang mengambil tempat dalam alam. Hakikat kebenaran dan kebaikan memiliki makna dalam pandangan filsafat ini. Kebenaran bukan dibuat, melainkan sudah ditentukan, di mana belajar harus mencerminkan kebenaran tersebut.
Menurut pandangan aliran ini, struktur sosial berakar pada aristokrai dan demokrasi. Letak aristokrasinya adalah pada cara meletakkan kekuasaan pada yang lebih tahu dalam kehidupan sehari-­hari. Demokrasinya berarti bahwa setiap orang diberi kesempatan yang luas untuk memegang setiap jabatan dalam struktur masyarakat. Hubungan antara gereja dan negara, adalah menjaga fundamental dasar dualisme antara order natural dan order supernatural. Minat negara terhadap pendidikan bersifat natural, karena negara memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan gereja. Moral pendidikan berpusat pada ajaran agama. Pendidikan agama sebagai pedoman bagi anak untuk mancapai Tuhan dan akhirat.
Menurut realisme religius karena keteraturan dan keharmo­nisan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, maka manusia harus mempelajari alam sebagai ciptaan Tuhan. Tujuan utama pendidikan mempersiapkan individu untuk dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan adalah mendorong siswa memilih keseimbangan intelektual yang baik, bukan semata-mata penyesuaiaii terhadap lingkungan lisik dan sosial saja. Wiliam Mc Gucken (Bnibacher, 1950), seorang pengikut Aristoteles dan Thomas Aquina yang berakar pada metafisika dan epistemologi, membicarakan pula natural dan supernatural. Menurut Gucken, tanpa Tuhan tidak ada tujuan hidup, dan pada akhirnya tidak ada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk hidup di dunia sekarang dalam arti untuk mencapai tujuan akhir yang abadi untuk hidup di dunia sana.
Pandangannya tentang moral, realisme religius menyetujui bahwa kita dapat memahami banyak hukum moral dengan menggunakan akal, namun secara tegas beranggapan bahwa hukum­-hukum moral tersebut diciptakan oleh Tuhan. Tuhan telah member­kahi manusia dengan kemampuan rasional yang sangat tinggi untuk memahami hukum moral tersebut. Tidak seperti halnya realisme natural yang hanya terbatas pada moral alamiah, realisme religius beranggapan bahwa manusia diciptakan memiliki kemampuan untuk melampaui alam natural, yang pada aklurnya dapat mencapai nilai supernatural. Tujuan pendidika-r adalah keselamatan atau kebaha­giaan jasmani dan rohani sekahgus. Anak yang lahir pada dasarnya rohaninya dalam keadaan baik, penuh rahmat, diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Anak akan menerima kebaikan dan menjauhi kejahatan bukan hanya karena perintah akal, melainkan juga karena perintah Tuhan.
Johan Amos Comenius merupakan pemikir pendidikan yang dapat digolongkan pada realisme religius, mengemukakan bahwa semua manusia harus berusaha untuk mencapai dua tujuan. Pertama, keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi. Kedua, keadaan dan kehidupan dunia yang sejahtera dan damai. Tujuan pertama merupakan tujuan yang inheren dalam diri manusia, di mana tuju­annya terletak di luar hidup ini. Pada tujuan yang kedua, Comenius tampaknya memandang kebahagiaan dan perdamaian dunia meru­pakan sebahagian dari kebahagiaan hidup yang abadi.
Berbicara tentang pendidikan, Comenius (Price, 1962) menge­mukakan bahwa pendidikan harus universal, seragam, dimulai sejak pendidikan yang paling rendah, dan merupakan suatu kewajiban. Pada tingkat pendidikan yang paling rendah, anak akan menerima jenis pendidikan yang sama. Pembawaan dan sifat manusia sama pada semua orang. Oleh karena itulah, metode, isi, dan proses pendidikan harus seragam. Namun, manusia tetap berbeda dalam derajatnya, dimana ia dapat mencapainya.  Oleh karena itu pada tingkatan pendidikan yang paling tinggi tidak boleh hanya ada satu jenis pendidikan, melainkan harus beraneka ragarn jenis pendidikan. Anak yang cacat pancaindera, jasmani maupun mental, tidak diperkenankan mengikuti pendidikan, dalam arti bersama-sama dengan anak normal. Mereka harus mendapatkan pelayanan secara khusus.
Comenius dengan bukunya "Didactica Magna" (Didaktik Besar), dan "Orbis Sensualium Pictus" (Dunia Pancaindera dengan Gambar-gambar) merupakan peletak dasar didaklik modern. Ia mengubah cara berpikir anak yang deduktif spekulatif dengan cara berpikir induktif, yang merupakan metode berpikir ilmiah. Peragaan merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar, sehingga ia dijuluki sebagai Bapak Keperagaan dalam Belajar Mengajar.
Beberapa prinsip mengajar yang dikemukakan oleh Comenius adalah sebagai berikut :
  1. Pelajaran harus didasarkan pada minat siswa. Keberhasilan dalam belajar tidak karena dipaksakan dari luar, melainkan merupakan suatu hasil perkembangati dari dalam pribadinya.
  2. Pada waktu permulaan belajar, guru harus menyusun out-line secara garis besar dari setiap mata pelajaran.
  3. Guru harus menyiapkan dan menyampaikan informasi tentang garis-garis besar pelajaran sebelum pelajaran dimulai, atau hada waktu permulaan pelajaran.
  4. Kelas harus diisi dengan gambar-gambar, peta, motto, dan sejenisnya yang berkaitan dengan rencana pelajaran yang akan diberikan.
  5. Guru menyampaikan pelajaran sedemikian rupa, sehingga pelajaran merupakan suatu kesatuan. Setiap pelajaran merupakan suatu keseimbangan dari pelajaran sebelumnya, dan untuk perkembangan pengetahuan secara terus-menerus.
  6. Apapun yang dilakukan guru, hendaknya membantu untuk pengembangan hakikat manusia. Kepada siswa ditunjukan kepentingan yang praktis dari setiap sistem nilai.
  7. Pelajaran dalam subjek yang sama diperuntukkan bagi semua anak.
2. Realisme Natural Ilmiah
Realisme natural ilmiah menyertai lahirnya sains di Eropa pada abad kelima belas dan keenarn beias, yang dipelopori oleh Frajrcis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume. John Stuart Mill, dair lain-lainnya. Pada abad kedua puluh tercatat pemikiran-pemikiran seperti Ralph Borton Perry, Alfred Nortt Whitehead, dan Bertrand Russel. Realisme natural ilmiah mengatakam bahwa manusia adalah organisme biologis dengan sistem saraf yang kompleks dan secara inheren berpembawaan sosial (social dispossition). Apa yang dinamakan berpikir merupakan fungsi yang sangat kompleks dari organisme yang berhubungan dengan lingkungannya. Kebanyakan penganut realisme natural menolak eksistensi kemauan bebas (free will). Mereka bersilang pendapat dalam hal bahwa individu ditentukan oleh akibat lingkungan fisik dan sosial dalam struktur genetiknya. Apa yang tampaknya bebas memilih, kenyataannya merupakan suatu determinasi kausal (ketentuan sebab akibat).
Menurut realisme natural ilmiah, filsafat mencoba meniru objektivitas sains. Karena dunia sekitar manusia nyata, maka tugas sainslah untuk meneliti sifat-sifatnya. Tugas filsafat mengkoordina­sikan konsep-konsep dan temuan-temuan sains yang berlainan dan berbeda-beda. Perubahan merupakan realitas yang sesuai dengan hukum-hukum alam yang permanen, yang menyebabkan alam semesta sebagai suatu struktur yang berlangsung terus. Karena dunia bebas dari manusia dan diatur oleh hukum alam, dan manusia merniliki sedikii kontrol, maka sekolah harus menyediakan subject matter yang akan memperkenalkan anak dengan dunia sekelilingnya.
Pandangannya     tentang   teori     pengetahuan    (epistemologi ), realisme natural ilmiah mengatakan bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi akal atau jiwa (mind) manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya. Substansialitas, sebab akibat, dan aturan-aturan alam bukan suatu proyeksi akal, atau jiwa manusia, melainkan merupakan suatu penampilan atau penampakkan dari dunia atau alam itu sendin.
Teori kebenaran yang dipergunakan oleh kaum realisme natural ilmiah adalah teori "korespondensi" tentang kebenaran, yang menyatakan bahwa kebenaran itu adalah persesuaian terhadap fakta dengan situasi yang nyata. Kebenaran merupakan persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan faktanya sendiri, atau antara pikiran dengan realitas situasi lingkungannya. Teori ini sebagai suatu penolakan terhadap teori koherensi, yang pada umumnya diper­gunakan oleh kaum idealis, yang mengemukakan bahwa pengetahuan itu benar karena selaras atau bertalian dengan pengetahuan yang telah ada. Menurut teori korepondensi, pengetahuan baru itu dikatakan benar apabila dengan icon atau pengetahuan terdahulu yang telah ada, krena teori  yang telah ada tersebut adalah benar sesuai dengam fakta sesuai dengan situasi nyata.
Jadi, menurut realisme natural ilmiah, pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman empiris, dengan jalan observasi atau penginderaan. Teori pengetahuan yang mereka ikuti ialah teori pengetahuan "empirisme", seperti yang telah diuraikan terdahulu. Menurut empirisme, pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, sehingga merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
Pandangannya tentang nilai, mereka menolak pendapat bahwa nilai memiliki sanksi supernatural. Kebaikan adalah yang menghu­bungkan manusia dengan lingkungannya. Sebaliknya, kejahatan adalah yang menjauhkan manusia dari lingkungannya. Esensi manusia dan esensi alam adalah tetap, maka nilai yang menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya adalah tetap. Lembaga-lembaga dan praktik sosial di seluruh dunia sangat berlainan dan berbeda-beda, namun memiliki landasan nilai yang sama. Kaum idealisrne mengang­gap bahwa manusia pada dasarnya sernpurna, sedangkan kaum realisme natural menerima sebagaiman adanya, tidak sempurna.
Realisme natural mengajarkan bahwa baik dan salah adalah hasil pemahaman kita tentang alam, bukan dari prinsip-prinsip nilai agama atau dari luar alam ini. Moralitas dilandasi oleh hasil penelitian ilmiah yang telah menunjukkan kemanfaatannya pada manusia sebagai spesies tertinggi dari hewan. Sakit adalah jahat, dan sehat adalah baik. Manusia harus meningkatkan kebaikan-kebaikan dengan menggu­nakan ukuran-ukuran untuk memperbaiki konstitusi genetik, mengatasi kesejahteraail dengan perbaikail lingkungan di mana manusia hidup.
Mengenai konsep pendidikan realisme natural, Brucher (1950) mengemukakan bahwa pendidikan berkaitan dengan dunia di sini dari karang. Dunia bukan sesuatu yang eksternal, tidak abadi, melainkan diatur oleh hukum alam. Jiwa (mind) merupakan produk alam dan bersifat biologis, berkembang dengan cara menyesuaikan diri dengan alam Pendidikan menurut realisme natural haruslah ilmiah dan yang menjadi objek penelitiannya adalah kenyataan dalam alam.
Seorang ahli sains dapat mencatat dengan tepat apa yang dipelajarinya, termasuk dalam mempelajari kenyataan-kenyataan sosial. Bagi mereka tidak ada kesangsian terhadap apa yang dipelajari berdasarkan kenyataan, karena kebenaran diperolelurya dari kenyataan. Oleh karena itu, kurikulum ymg baik ialah yang berdasarkan data dan realitas. Mereka mendasarkan penehtian ilmiah melalui psikologi pendidikarl dan sosiologi pendidikan dalam menentukan kiirikulumnya. Psikologi mereka adalah behavioristik. Ide atau jiwa anak yang bersifat supernatural tidak memperoleh tempat dalam pendangan mereka. Pendidikan cenderung pada naturalisme, meterialisme, dan makenistik.
Terdapat persamaan wawasan tentang proses pendidikan di antara berbagai aliran realisme. Hal tersebut dikemukakan Kneller (1971 : 24) sebagai berikut :
"To impart a selection of this knowledge to the growing person in the school's most important task. The initiative in education, therefore, lies with the teacher as transmitter of the cultural heritage. It is the teacher, not the student, who must decide what subject matter should be studied in class. If this sub;ect matter can be made to satisfy the student personal needs and interest, so much the better. But satisfying the student personally is far less important than imparting the right subject matter".
Baik realisme rasional maupun realisme natural ilmiah sependapat bahwa menanamkan dan pemilihan pengetahuan yang akan diberikan di sekolah adalah penting. Inisiatif dalam pendidikan adalah terletak pada guru, yang menentukan bahan pelajaran yang akan dibahas dalam kelas adalah guru, bukan siswa. Materi atau bahan peiajaran yang baik adalah bahan pelajaran yang memberi kepuasan pada minat dan kebutuhan siswa. Namun, yang paling penting bagi guru adalah bagaimana memilih bahan pelajaran yang benar, bukan memberikan kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa. Memberi kepuasan terhadap minat dan kebutuhan siswa hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, merupakan suatu strategi mengajar yang bermanfaat. Selanjutnya lihat bagian akhir berkaitan dengan pembahasan psikologi behavionsme.

3. Neo-Realisme dan Realisme Kritis
Selain aliran-aliran realisme di atas, masih ada lagi pendangan-­pandangan lain, yang termasuk realisme. Aliran-aliran tersebut disebut "Neo-Realisme" dari Frederick Breed, dan "Realisme Kritis" dari Immanuel Kant. Menurut pandangan Breed, filsafat pendidikan hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip pertama demokrasi adalah hormat dan menghormati atas hak-hak individu. Pendidikan sebagaii pertumbuhan harus diartikan sebagai menerima arah tuntunan sosial dan individual. Istilah demokrasi harus didefinisikan kembali sebagai pengawasan dan kesejahteraan sosial.
Selanjunya Breed mengatakan bahwa, sekolah harus menghantarkan pewarisan sosial sedemikian rupa untuk menanamkan kepada generasi muda dengan kenyataan bahwa kebenaran merupakan unsur penting dari tradisi masyarakat. Berkali-kali dia menekankan keharusan menolong pemuda untuk menyesuaikan diri pada fakta yang sebenarnya, pada alam realitas yang bebas, yang menjadi unsur utama atau yang menjadi tulang punggung pengalaman manusia.
Pada waktu membicarakan idealisme, sudah kita kemukakan pandangan Immanual Kant sebagai seorang idealis. Jadi, hasil pemikiran Kant merupakan titik temu antara idealisme dan realisme, antara empirisme yang dikembangkan Locke, yang bermuara pada empirisme David Hume, dengan rasionalisme dari Descartes. Dilihat dari idealisme, la seorang idealisme kritis, dan dilihat dari pandangan realisme, ia seorang realisme kritis. Oleh karena itu, banyak orang yang mempelajan filsafat dan :ejarah filsafat, menamakan la sebagai Krisisme. kritisisme Kant dimulai dengan penyelidikan kemampuan dan batas-batas rasio. berbeda dengan filosof-filosof sebelumnya secara dogmatts apriori mempercayai kemampuan rasio secara bulat. Menurut Kant, semua pengethuan mulai dari pengalaman, namun tidak berartti semuanya dari pengalaman. Objek luar dikenal melalui indera, namun pikiran atau rasio, atau pengertian, mengorga­nisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Pikiran tanpa isi adalah kosong, dan tanggapan tanpa konsepsi adalah buta. Demikian kata Kant. "Thought mlhout content are empty. percepts without Concepts are blind"  (Henderson, 1959 : 2118). Selanjutnya  menurut Kant, pengalaman tidak hanya sekedar warna, suara, bau yang ditenma alat indera, melainkan hal-hal tersebut diatur dan disusun menjadi suatu bentuk yang terorganisasi oleh pikiran kita. Pengalaman merupakan suatu interpretasi tentang benda­-benda yang kita terima melalui alat indera kita. Dan di dalam imterpretasi tersebut kita mempergunakan suatu struktur tertentu untuk mengorganisasi benda-benda.


Lebih lanjut Kant mengemukakan, bahwa manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan, sehingga kita dapat memberi bentuk terhadap data mentah yang kita amati. Dengan demikian, kita mungkin memilih pengetahuan apriori, yang tidak perlu untuk me­ngalami sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang fundamental, dan pengetahuan yang aposteriori, pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Manusia tidak bisa mengetahui realitas yang sebenarnya, melainkan suatu realitas yang direfleksikan oleh pengalaman sadar kita. Tuhan sebagai realitas di luar pengalaman, dan merupakan objek pengetahuan. Kant mengakui, bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan alamiah, melainkan juga memiliki kemampuan agama dan moral.
Henderson rnerupakan salah seorang filosof yang dapat digolongkan pada aliran ini. la berpendapat bahwa semua aliran filsafat pendidikan memihki beberapa persamaan, yaitu :
"All these educational philosophies agree that the educative process centers in the task of developing superior manhood and womanhood; that our task in this world to promote justice and the common welfare, and that we should look to the ultimate purpose of education for direction in solving educational problems".
Semua aliran filsafat pendidikan menyetujui bahwa :
  1. Proses pendidikan berpusat pada tugas mengembangkan laki-laki dan wanita yang hebat dan kuat.
  2. Tugas manusia di dunia adalah memajukan keadilan dan kesejah­teraan umum.       
  3. Kita seharusnya memandang bahwa tujuan akhir pendidikan ada­lah memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Power {1982} mengemukakan implikasi pendidikan realisme sebagai berikut :
  1. Tuiuan pendidikan: Penyesuaian hidup dan tangung Jawab sosial.
  2. Kedudukan siswa : Dalam hal pelajaran, menguasai pengetahuan yang handal, dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial untuk belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.
  3. Peranan Guru: Menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar dan dengan keras menuntut prestasi dari siswa.
  4. Kurikulum: Kurikulum komprehensif mencakup semua pengetahuan yang berguna. Berisikan pengetahuan liberal dan pengetahuan praktis.
  5. Metode: Belajar tergantung pada pengalaman, baik langsung atau tidak langsung. Metode penyampaian harus logis dan psikologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar