Minggu, 08 Januari 2012

KEMATANGAN BERAGAMA


“KEMATANGAN BERAGAMA”
Oleh: Wawan Hermawan Al-Ghifary
A. Pengertian Matang Beragama
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan beragama, jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia.
Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan sebagai keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Factor-faktor ini menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: factor yang terdapat pada diri anak dan factor yang berasal dari lingkungan.
Adapun factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluargaa, sekolah (Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya dengan kematangan beragama.
Dalam kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap keberagamaan masing-masing.
C. Ciri-ciri Dan Sikap Keberagamaan.
Dalam bukunya “The Varieties Of Religious Experience” William James menilai secara garis besarnya sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua type, yaitu: type orang yang sakit jiwa, type orang yang sehat jiwa. Kedua type ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda:
1. Type orang yang sakit jiwa (The Sick Soul).
Menurut Wiliiam James sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Latar belakan itulah yang kemudian menjadi penyebab perubahan sikap yang mendadak terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya, William James menggunakanistilah “The Suffering”.
William Starbuck, seperti yang dikemukakan oleh William James berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua factor utama yaitu: factor intern dan factor ekstern. Alasan ini pula tampaknya yang menyebabkan dalam psikologi agama dikenal dua sebutan yaitu The Sick Soul dan The Suffering, type yang pertama dilatar belakangi oleh factor intern (dalam diri), sedangkan yang kedua adalah karena factor ekstern (penderitaan).
a. Faktor intern yang diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:
Ø Temperamen.
Temperamen merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan jiwa orang-orang yang melancholis akan berbeda dengan orang yang berkepribadian displastis dalam sikap dan pandangannya terhadap ajaran agama.
Ø Gangguan Jiwa.
Orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkannya tergantung dari gangguan jiwa yang mereka idap.
Ø Konflik dan Keraguan
Konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatic atau agnostic hingga keateis.
Ø Jauh dari Tuhan
Orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan, hal ini menyebabkan terjadi semacam perubahan sikap pada dirinya.
Adapun ciri-ciri tidak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap: pesimis, introvert, menyayangi paham yang ortodoks, mengalami proses keagamaan secara nograduasi.
b. Faktor Ekstern yang diperkirakan turut mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak, adalah:
Ø Musibah
Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang, keguncangan ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan bagi dirinya. Akibat musibah seperti itu tak jarang pula menimbulkan perasaan menyesal yang mendalam dan mendorong mereka untuk mematuhi ajaran agama secara sungguh-sungguh.
Ø Kejahatan
Mereka yang menekuni kehidupan dilingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan batin dan rasa berdosa.
2. Type Orang Yang Sehat Jiwa (Healty-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W.Starbuck yang dikemukakan oleh W.Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah:
a. Optimis dan Gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah hasil jerih payahnya yang diberikan Tuhan.
b. Ekstrovet dan tak Mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya. Dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
Ø Menyenangi Theologi yang luwes dan tidak baku
Ø Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
Ø Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa
Ø Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran islam
Ø Selalu berpandangan positif
Ø Berkembang secara graduasi, dll.
D. Mistisisme Dan Psikologi Agama
Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang dalam islam adalah tasyawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam (Harun Nasution: 56). Sebagaimana halnya mistisisme, tasyawuf atau sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi (Harun Nasution: 56). Kesadaran berada dekat Tuhan itu dapat mengambil bentuk ijtihad, bersatu dengan Tuhan.
Ciri khas Mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu dengan Tuhan.
Mistisisme dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan dilihat dari absah tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama masing-masing. Dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik, tanpa harus mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisisme merupakan gejala umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik maupun nonteistik.
1. Sejarah perkembangan aliran kepercayaan.
Dalam memaparkan sejarah perkembangan ini kami mengetengahkan intisari dari uraian Prof. Selo Sumartjan dalam simpusium mengatakan “sila ketuhanan yang maha esa” tanggal 14 Februari 1966 di Jakarta.
Dalam evolusi system-sistem kepercayaan diuraikan sebagi berikut:
Manusia dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan yaitu lingkungan alam dan lingkungan masyarakat. Lingkungan alam meliputi: benda organis dan anorganis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah masa manusia yang berada disekitarnya.
Didorong oleh keinginan untuk mempertahankan hidupnya, maka timbul keinginan mereka untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu tidak merugikan dan membinasakan mereka. Berdasarkan kondisi social budaya yang mereka miliki dicarilah usaha untuk menguasai alam dengan kekuatan ghaib sejalan dengan kekuatan alam yang bagi mereka merupakan kekuatan ghaib.
Perkembangan itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang bersifat umum berkembang menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi perdukunan. Perkembangan masyarakat pada kenyataan selalu membawa bekas dari unsur generasi terdahulu. Demikian pula perkembangan kepercayaan dari tahap politeisme menjadi monoteisme.
2. Hal-hal termasuk mistisisme
a. Ilmu Ghaib
Yang dimaksud dengan ilmu ghaib disini adalah cara-cara dan maksud menggunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada dialam ghaib, yaitu yang tidak dapat diamati oleh rasio dan pengalaman fisik manusia.
Berdasarkan fungsinya kekuatan ghaib itu dapat dibagi menjadi:
Ø Kekuatan ghaib hitam (black magic), untuk dan mempunyai pengaruh jahat
Ø Kekuatan ghaib merah (red magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau kemauan orang lain (hypotisme)
Ø Kekuatan ghaib kuning (yellow magic), untuk praktek occuitisme
Ø Kekuatan ghaib putih (white magic), untuk kebaikan.
b. Magis
Mistis ialah suatu tindakan dengan anggapan bahwa kekuatan ghaib bisa mempengaruhi duniawi secara nonkultus dan nonteknis berdasarkan kenangan dan pengalaman. Untuk menjelaskan hubungan antara unsure-unsur kebatinan ini kita pertentangkan magis ini dengan masalah lain yang erat hubungannya.
Ø Magic dan tahayul
Orang percaya bahwa untuk membunuh seseorang dapat dipergunakan bagian yang berasal dari tubuh orang yang dimaksud. Misalnya tindakan membunuh dan membakar rambut dan kuku agar seseorang mati (magis) dan penggunaan rambut dan kuku sebagai alat pembunuh (Tahayul).
Ø Magis dan Ilmu ghaib
Seperti contoh diatas jika meleui suatu proses pengolahan tertentu secara irrasional tergolong ilmu ghaib.
Ø Magis dan kultus
Jika dihubungkan dengan kultus maka magis merupakan perbuatan yang dianggap mempunyai kekuaan memaksa kehendak kepada supernatural (Tuhan). Kultus merupakan perbuatan yang terbatas pada mengharap dan mempengaruhi supernatural (Tuhan).
c. Kebatinan
Ilmu kebatinan umumnya bermaksud untuk menemukan jalan yang dapat menempatkan manusia pada tempat yang sewajarnya ditengah-tengah masyarakat didunia dan juga dalam hubungannya dengan Tuhan. Ilmu kebatinan memberikan ajaran kepada para penganutnya tentang bagaimana mereka masing-masing dapat hidup secara harmonis yang mengandung keterangan dan rasa damai dengan masyarakat serta dengan Tuhannya melalui pengalaman syarat-syarat ilmunya.
d. Para psikologi
Menurut ilmu jiwa gejala jiwa manusia itu dapat dibagi atas:
1) Gejala jiwa yang normal (yang terdapat pada orang yang normal)
2) Gejala jiwa yang annormal terdiri dari:
Ø Gejala jiwa supranormal: yang terdapat pada tokoh-tokoh pemimpin yang terkenal dan genius
Ø Gejala jiwa paranormal: gejala jiwa yang terdapat pada manusia normal dengan beberapa kelebihan yang menyebabkan beberapa kemampuan berupa gejala-gejala yang terjadi tanpa melalui sebab akibat panca indera
Ø Gejala jiwa ubnormal: gejala jiwa yang menyimpang dari gejala biasa karena beberapa gangguan (sakit jiwa)
Para (disamping) psikologi meneliti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera serta perubahan-perubahan yang bersifat fisik yang digerakkan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dalam tubuh manusia.
e. Aliran kebatinan dan schizophrenia
Yang menggerakkan seseorang untuk memasuki aliran kebatinan ada berbagai motif kejiwaan, misalnya: ingin tahu, rasa tidak aman, kurang percaya pada diri sendiri ataupun ingin memperdalam ajaran suatu aliran kebatinan.
Dalam aliran kebatinan dikenal suatu cara meditasi yang mengarah kekehidupan mistik, menurut Evely Underhill stadium meditasi itu umumnya adalah:
Ø Kebangunan diri pribadi kearah realitas ketuhanan
Ø Purgation, yaitu suatu stadium kesediaan dan usaha
Ø Illumination, yaitu stadium kegembiraan yang sebenarnya menjurus kesatu eksaltasi
Ø Purifikasi, yaitu kesempurnaan pribadi
Ø Persatuan dan kehidupan absolute
Jika dianalisis secara psikologis dan urutan stadium meditasi tersebut tampak gejala-gejala kejiwaan sebagai berikut:
· Respon terhadap dunia luar menyempit (mengasingkan diri dan konsentrasi jiwa)
· Timbulnya eksaltasi dan kesedihan yang mendalam
· Terdapat gejala disosiasi, halusinasi dan waham
· Terdapat kebekuan dorongan berbuat, hilang kemampuan penerimaan rangsangan dan keinginan untuk menilai keadaan lingkungan.
Ditinjau dari gejala penderita schizophrenia, maka tampat ciri-ciri yang hampir sama. Penderitaan schizophrenia (schizoprenik) mengalami gejala-gejala:
· Kekaburan individualitas yang disebabkan oleh proses disintegrasi kepribadian
· Dengan adanya disintegrasi itu penderita memiliki predisposisi khusus yang cenderung untuk menafsirkan sesuatu yang kadang-kadang irrealistik dan melakukan tindakan yang asosial.
· Timbulnya halusinasi yang menyebabkan terjadinya Anxienty yang hebat sehingga dapat menimbulkan frustasi dan panicreaction serta perbuatan nekad.
William James dalam buku “The Varieties Of Religious Experience” mengemukakan tanda-tanda mistisisme sebagai berikut:
· Tak dapat diungkapkan (ineffability)
· Intustif (neutik quality)
· Sementara dan cepat (tran siency)
· Cenderung kearah kepasifan (passivity)
f. Tasyawuf dan Tariqat
Tasyawuf disebut juga mistisisme, islam memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berarti dihadirat Tuhan. Menurut Harun Nasution intisari dari mistisisme (termasuk tasyawuf) ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Untuk berada dekat dengan Tuhan orang harus menempuh jalan yang panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut muqamat.
Pelaksanaan tariqat itu diantaranya:
1. Zikir, yaitu ingatan yang menerus kepada Allah dalam hati, serta menyebut namanya dengan lisan
2. Rahb, yaitu menyebut kalimat “Laa Ilaaha Illallah” dengan gaya gerak dan irama tertentu
3. Muzik, yaitu dengan membaca wirid diiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan supaya lebih khidmat.
4. Bernafas, yaitu mengatur nafas pada waktu melakukan zikir tertentu.
Tarikat itu pada mulanya adalah tasyawuf dan kemudian berkembang dengan berbagai faham dan aliran yang dibawa oleh para syekhnya dan kemudian melembaga menjadi suatu organisasi yang disebut tarikat.
Tasyawuf atau mistisisme menurut Harun Nasution dijumpai dalam setiap agama, mereka yang bergabung dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara melakukan pensucian jiwa. Tuhan sebagai dzat yang maha suci hanya mungkin didekati oleh manusia yang suci pula, kesucian bersifat rohaniah. Makanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan melalui proses pensucian jiwa. Sebagai unsure spiritual (Rohaniah).

KESIMPULAN
Berasarkan pembahasan pada uraian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan tentang criteria orang yang matang beragama, dalam hal ini akan terjawab masalah tersebut dengan terlebih dahulu memahami: pengertian matang beragama, factor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia, ciri-ciri dan sikap keberagamaan, mistisisme dan agama.
Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berfikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ternyata ia belum matang.

DAFTAR PUSTAKA
H. Jalaludin, Prof. Dr, Psikologi Agama Edisi Refisi 2002, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
H. Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Tafsir Ahmad, Prof. Dr, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar