Minggu, 08 Januari 2012

KESADARAN BERAGAMA



PENDIDIKAN AGAMA YANG MEMBANGUN KESADARAN RELIGIUS

Oleh: Wawan Hermawan Al-Ghifary
Abstrak
          Afiliasi seseorang untuk menjadi pengikut suatu agama tertentu dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu dengan melalui model afiliasi tradisional dan afiliasi rasional. Kedua cara ini memiliki implikasi yang berbeda, antara lain melihat agama sebagai sebuah „paksaan‟ di satu sisi, sementara di sisi lain agama dilihatnya dengan penuh kesadaran karena merupakan cara Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Untuk menuju kesadaran keagamaan yang utuh, setiap umat beragama harus memenuhi dimensi-dimensi keagamaan secara keseluruhan. Dimensi-dimensi itu ialah: dimensi keyakinan, dimensi peribadatan, dimensi pengalaman, dimensi pengamalan dan dimensi pengetahuan. Dari dimensi tersebut, dimensi pengetahuan akan sangat berperan terhadap munculnya kesadaran keagamaan. Agar kesadaran keagamaan itu muncul dengan baik dalam kehidupan seorang penganut agama, maka model pendidikan agama sangat menentukan. Untuk itu, model pendidikan agama yang harus dikembangkan tidak semata bersifat doktrinal, dengan menekankan serangkaian ajaran dan kewajiban kepada pemeluk agama, melainkan pendidikan agama harus dilakukan dengan melibatkan emosi dan rasionalitas para penganutnya. Kata Kunci: Pendidikan Agama, Kesadaran Beragama. Toward the Religious Education To build the Consciousness of Religiousity Abstract The affiliation of believers to a religion have occured by two ways, that are by traditional affiliation model or rational model. There are the difference implication, in one hand that a religiousity is a coercion, and in the other hand that a religiousity is a consciousness, because the religion is one way of God to salvation for the mankind. Toward the consciousness of religiousity, every believer has to fulfill the religious dimension. The religious dimensions are ideological, practical, experiential, Consequential and intellectual dimension. One of that dimensions, intellectual dimension is very important to build of the consciousness of religiousity.
* Dosen Pendidikan Agama Islam dan Sejarah Islam pada Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan MKU Universitas Negeri Yogyakarta.
For building of the consciousness of religiousity on the life of the believers, religious education model is very important. Furthermore, the religious education that 2 must be developed is not only doctrinal, which stressing the obligations for the believers, but also the religious education is acted by involving the emotion and rasionality of the believers. Keyword: Religious Education, Consciousness of Religiousity
Pendahuluan
Salah satu ciri manusia, seperti dikatakan Mircea Eliade, bahwa ia adalah jenis makhluk homo religiosus (Sastrapratedja, 1982:37). Menurutnya, Homo religiosus adalah tipe manusia yang hidup dalam alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius (keagamaan), dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta. Dalam pandangan homo religiosus kehidupan di dunia ini tidak semata-mata bersifat alamiah (profan). Kehidupan di dunia terikat dengan kehidupan dunia lain yang digambarkan dengan kehadiran Tuhan. Tuhan menjadi pusat kehidupan dunia. Seperti dikatakan Nottingham: Sesuatu yang sakral lebih mudah dikenal daripada didefinisikan. Ia berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan maupun yang sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang kita kenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau, sering kita katakan, antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi. Meskipun demikian hampir tidak ada sebuah benda pun yang ada di surga (langit) ataupun di bumi yang pada suatu saat belum pernah dianggap sakral oleh sekelompok orang (Nottingham, 1985:9-10).
Kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia di dunia telah melahirkan adanya seperangkat keyakinan, norma, dan praksis yang berpusat kepada-Nya. Kumpulan dari seperangkat keyakinan, norma, dan praksis ini kemudian disebut agama, religion, dan al-din. Dalam realitas sosial, mengikuti kajian kalangan ahli antropologi agama, sosiologi agama dan sejarah agama, adanya agama dipandang sebagai fenomena yang sudah sangat tua. Bahkan disebutkan kalau fenomena agama ini senantiasa menyertai kehidupan manusia di mana dan kapan pun. Oleh karena itu dikatakan bahwa fenomena agama merupakan fenomena yang universal (Nottingham, 1985:2). Kenyataan menunjukkan, sebagian besar umat manusia di bumi menjadi pemeluk suatu agama tertentu, semisal Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Taoisme, dan Sinto. Fenomena umat manusia yang tidak lepas dari agama menunjukkan bahwa agama menempati tempat yang penting dalam kehidupannya. Barang-barang peninggalan paling kuno dari orang Neanderthal menunjukkan bukti-bukti tentang kegiatan yang oleh para sarjana ditafsirkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan. Tak seorang ahli etnologi pun yang menemukan kelompok manusia tanpa bekas-bekas tingkah-laku yang bisa dilukiskan dengan cara yang sama. Meskipun keuniversalan ini mungkin sukar dijelaskan, tetapi ia merupakan fakta historik dan antropologis yang tidak dapat diingkari (Nottingham, 1985:2-3). Tulisan ini akan mencoba menelusuri kembali religiusitas manusia. Apakah mungkin telah terjadi kemerosotan atas fungsi dan peran agama dalam kehidupan, sehingga sering muncul pernyataan yang menggugat fungsi dan peran agama, dan keraguan terhadap fungsi dan perannya dalam membangun kehidupan manusia. Kalau keraguan itu benar, di mana sebenarnya letak kelemahannya. Dengan menelusuri kembali religiusitas manusia, diharapkan ditemukan solusi yang memadai untuk mengembalikan agama pada fungsinya yang luhur, yaitu untuk kebaikan hidup umat manusia.
Afiliasi Keagamaan Manusia
Sebagai fenomena yang universal, religiusitas menampakkan diri secara nyata dalam kehidupan sosial yang bisa dilihat setiap saat. Dari penampakkan itu dapat ditemukan model afiliasi keagamaan manusia yang bisa disebut dengan model afiliasi tradisional dan model afiliasi rasional.
Pertama, model afiliasi tradisional. Secara umum dapat dikatakan bahwa afiliasi manusia kepada suatu agama tertentu mengikuti model afiliasi tradisional. Afiliasi tradisional adalah suatu model kepenganutan terhadap suatu agama tertentu dengan mengikuti tradisi agama yang hidup dalam keluarga. Agama yang dianut suatu keluarga --dapat dipastikan-- akan menentukan jenis agama yang dianut oleh anak dan keturunan keluarga yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang berlaku adalah model warisan, artinya seorang anak atau anggota keluarga akan mewarisi jenis agama yang dianut oleh leluhurnya. Model afiliasi tradisional merupakan cara yang ampuh untuk menjaga kelestarian suatu agama. Kelestarian agama-agama yang ada dewasa ini merupakan akibat dari model afiliasi ini. Kuatnya afiliasi tradisional dapat terlihat, baik dalam bentuk pelestarian agama yang bersifat vertikal, dari ayah ke anak ke cucu dan seterusnya, maupun yang bersifat horizontal. Arah horizontal misalnya dapat dilihat dalam hubungan menyamping pada saat seseorang akan menikah. Satu di antara prasyarat utama yang harus dipenuhi adalah kesamaan agama. Pada saat bersamaan, afiliasi tradisional menjadi semakin kuat, karena di dalamnya menyertakan tanggung jawab keluarga yang bercorak emosional. Rasa kebersamaan sebagai keluarga kadang-kadang mengalahkan rasionalitas seseorang. Oleh karena itu, unsur emosional memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kelestarian suatu agama. Dapat terjadi, seseorang yang secara rasional lebih bisa menerima ajaran agama lain, tetapi karena emosi kekeluargaan yang kuat, dia tidak dapat melepaskan diri dari agama yang dianut keluarganya. Demikian juga dapat terjadi ketika seseorang akan berpindah kepada agama lain atas pertimbangan rasionalitasnya, tetapi mendapatkan ancaman dari pihak keluarga, seperti tidak diakui lagi sebagai anggota keluarga, dia akan tetap beragama sesuai dengan agama keluarganya. Memperhatikan fenomena keagamaan melalui afiliasi tradisional, seakan telah terjadi „pemaksaan‟ agama oleh keluarga. Keluarga telah berperan sebagai lembaga yang memaksakan agama kepada para anggotanya.
Model afiliasi tradisional diakui telah memperlihatkan kekuatannya. Tetapi di dalamnya ditemukan adanya beberapa kelemahan. Kelemahan yang utama adalah, berhubungan dengan „transferensi‟ ajaran-ajaran, nilai-nilai, norma-norma dan praktek-praktek keagamaan. Tidak semua keluarga atau bahkan kebanyakan keluarga dapat melakukan „transferensi‟ ajaran-ajaran, nilai-nilai, norma-norma dan praktek- praktek keagamaan dengan baik. „Transferensi‟ yang dimaksudkan di sini adalah pemindahan ajaran-ajaran, nilai-nilai, norma-norma, dan praktek-praktek keagamaan dari orang tua kepada anak. Kunci persoalannya adalah terletak pada dimensi pengetahuan agama yang tidak dimiliki secara memadai oleh para orang tua dan umat beragama pada umumnya. Ada beberapa implikasi yang dapat dicatat dari kurangnya pengetahuan agama. Implikasi pertama dari tidak memadainya dimensi pengetahuan agama yang dimiliki seseorang, antara lain terlihat pada pemeluk-pemeluk agama yang bercorak nominal. Seseorang mengaku sebagai penganut agama tertentu, tetapi dalam praktek kehidupannya jauh dari cita-cita yang ada dalam agamanya. Dengan mudah dijumpai orang-orang beragama, tetapi tidak melakukan kegiatan yang merupakan kewajiban yang mestinya dilakukan seorang penganut agama. Oleh karena itu dapat dimengerti ketika misalnya Clifford Geertz (1989) membagi varian keberagamaan orang Islam di Jawa kepada varian abangan, santri, dan priyayi. Geertz mengatakan: …three main cultural types which reflect the moral organization of Javanese culture as it is manifested in Modjokuto, the general ideas of order in terms of which the Javanese farmer, laborer, artisan, trader or clerk shapes his behavior in all areas of life. These are the abangan, santri and prijaji (Robertson, 1971:166). Varian abangan dipakai oleh Geertz untuk menunjuk kepada orang-orang yang secara nominal mengatakan beragama, tetapi tidak mempraktekkan ajaran-ajaran atau kewajiban agamanya dengan baik. Praktek keagamaan yang paling menonjol bagi mereka adalah slametan. Dikatakan oleh Geertz: The abangan religious tradition, made up primarily of the ritual feast called the slametan, of an extensive and intricate complex of spirit beliefs and of a whole set of theories and practices of curing, sorcery and magic, is the first subvariant within the general Javanese village (Robertson, 1971:166).
Pada fenomena yang demikian, agama dilihat sebatas melengkapi identitas seseorang. Dalam pandangannya, kehidupan sosial yang dihadapinya telah mensyaratkan seseorang untuk menganut suatu agama tertentu. Agama merupakan „keharusan sosial‟ atau „hukum sosial‟. Agama tidak lagi menjadi kebutuhan substansial seseorang, tetapi sebagai sarana identifikasi sosial. Seperti halnya keluarga, di sini pun masyarakat telah „memaksa‟ seseorang untuk beragama. Implikasi kedua dari tidak memadainya pengetahuan agama adalah sering terjebaknya umat beragama pada sesuatu yang sifatnya permukaan (superficial). Ketika mereka melakukan kewajiban agama yang sifatnya praktek, dalam bentuk peribadatan atau ritual, mereka hanya mementingkan terpenuhinya perbuatan tersebut secara formal (formal-practical). Formalitas itu misalnya, mereka merasa cukup hanya dengan memenuhi syarat dan rukun suatu perbuatan. Mereka tidak mampu menyelami lebih dalam hakekat dari perbuatan yang dilakukannya. Mereka juga melakukan perbuatan-perbuatan itu karena terikat dengan kata „wajib‟ atau kata perintah lainnya. Dengan kata lain, mereka terjebak pada „rutinitas‟ yang kering dan gersang akan pemaknaan. Rutinitas dalam bentuk pengulangan (repetition) belum mampu memberikan sumbangan terhadap pembangunan kepribadiannya. Ketika afiliasi tradisional, baik dalam bentuk yang nominal maupun ritual yang superficial, dan formal-practical, dimasuki unsur emosi keagamaan, kemungkinan yang akan timbul adalah adanya perilaku „taklid buta‟. Seseorang yang dalam keadaan bertaklid buta, biasanya akan melahirkan sikap fanatik yang berlebihan terhadap seseorang atau kelompok. Ada anggapan bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, yaitu apa yang diketahuinya atau apa yang diterimanya dari seseorang atau kelompok. Sikap yang demikian dapat mengarahkan seseorang untuk hanya membenarkan diri dan kelompoknya, dan menyalahkan orang-orang yang berbeda dengan diri dan kelompoknya. Gejala ini akhirnya dapat mengarah pada terjadinya konflik (intern) agama.
Implikasi ketiga yang juga disebabkan karena tidak memadainya pengetahuan agama adalah kemungkinan terjadinya konversi agama (Rudolph Uren, 1928:238). Konversi agama atau perpindahan agama bisa disebabkan karena dua hal, yaitu kebodohan dan keragu-raguan. Tetapi terjadinya perpindahan agama, kebanyakan disebabkan karena seseorang tidak mengetahui dengan benar kedudukan agama. Pada mereka yang beragama secara nominal, apabila ada penawaran yang dipandang menguntungkan kehidupan duniawinya, dengan tidak merasa berdosa atau penyesalan dikemudian hari, dia akan menerima perpindahan itu. Peristiwa perpindahan ini terjadi disebabkan mereka tidak tahu dengan pasti kedudukan agama. Sementara bagi mereka yang mengerti kedudukan agama, sekalipun dalam keadaan hidup yang sulit, tidak akan rela melepaskan agama untuk berganti dengan agama lain. Agama tidak seperti rumah atau pakaian, kalau sudah rusak dan lusuh bisa diganti begitu saja (E. Saifudin Anshari, 1979:109). Seperti yang juga dinyatakan Thouless: “Konversi agama” adalah istilah yang pada umumnya diberikan untuk proses yang menjurus kepada penerimaan suatu sikap keagamaan; proses itu bisa terjadi secara berangsur-angsur atau secara tiba-tiba. Sangat boleh jadi ia mencakup perubahan keyakinan terhadap beberapa persoalan agama tetapi hal lain akan dibarengi dengan berbagai perubahan dalam motivasi terhadap perilaku dan reaksi terhadap lingkungan sosial. Salah satu di antara berbagai arah perubahan ini tampaknya bisa memainkan peranan penting dalam perubahan konversi itu; katakanlah misalnya konversi-konversi intelektual, moral, atau sosial (Thouless, 1992:198). Implikasi keempat dari afiliasi tradisional, terlihat pula pada cara pandang yang keliru terhadap agama. Agama dipandang sebagai seperangkat aturan dan ketentuan yang memaksa kepada manusia. Agama dirasakan seperti „penjara‟ yang selalu membatasi gerak kehidupan. Apabila agama dilihat sebagai bentuk „paksaan‟, dengan sendirinya seseorang tidak akan pernah merasa nyaman dan damai dalam beragama. Agama bahkan dilihat sebagai bagian yang membebani kehidupannya. Kesan yang akhirnya muncul adalah adanya „ketakutan‟ dalam menjalankan ajaran agama. Tuhan dipandang sebagai Dzat Mengerikan dan akan memberikan hukuman kepada setiap orang yang melanggar perintah-Nya. Dengan demikian terjadi ketundukan dan kepatuhan yang semu. Implikasi kelima yang dapat dicatat dari model keagamaan ini adalah kemungkinan terjebaknya seseorang pada apa yang disebut „kultus individu atau kelompok‟. Kultus ini antara lain diperlihatkan dalam bentuk „pembenaran‟ terhadap setiap „kata dan perbuatan‟ yang berasal dari seseorang atau kelompok (marja’ al-taqlid). Model keagamaan seperti ini akan sangat berbahaya kalau kemudian disusupi oleh muatan-muatan yang bersifat politik. Dalam hal ini agama akan menjadi alat legitimasi, dan karena itu mungkin saja atas nama agama (seseorang atau kelompok) rela mati karenanya. Kedua, model afiliasi rasional. Untuk sampai ke model afiliasi rasional, pada hakekatnya seseorang yang beragama melewati dulu model afiliasi tradisional. Tangga kehidupan keluarga adalah pintu masuk yang mengantarkan seseorang pada agama tertentu. Pada tahap itu, seseorang diperkenalkan dengan ajaran agama yang dianut dalam keluarga. Bermula dari perilaku yang berupa pembiasaan praktek-praktek agama, hafalan terhadap ucapan-ucapan yang menyertainya, dan kemudian meningkat ke tingkat memberikan pengertian mengenai hakekat agama. Dari tahapan-tahapan itu, ketika seseorang memasuki usia aqil-baligh, pengertian mengenai hakekat agama harus sudah dimilikinya. Pada usia aqil-baligh seseorang masuk ke tahapan kehidupan lain, yaitu di mana perilakunya tidak disandarkan lagi kepada orang tuanya atau walinya, melainkan kembali kepada dirinya sendiri (mukallaf).
Pada masa kanak-kanak, tanggung jawab perilaku seorang anak dikembalikan kepada orang tua atau walinya, tetapi pada masa aqil-baligh tanggung jawab itu dikembalikan kepada dirinya. Oleh karena itu dalam setiap praktek keagamaan, seperti ibadah atau transaksi-transaksi lainnya, selalu menuntut adanya syarat aqil-baligh. Pada usia ini, merupakan waktu yang tepat bagi seseorang untuk menegaskan kembali „kesiapan‟ dirinya untuk menjadi Muslim. Penegasan bahwa dirinya betul-betul siap menjadi Muslim. Muslim adalah orang yang tunduk dan patuh kepada Tuhan secara 9
total. Penting untuk ditekankan bahwa ketundukan dan kepatuhan itu bukan karena paksaan keluarga, masyarakat atau agama. Masa aqil-baligh adalah waktu yang tepat bagi terjadinya proses rasionalitas dalam memasuki kehidupan agama. Pilihan atas agama yang semula merupakan pilihan keluarga atau masyarakat, harus mendapatkan penegasan ulang dari dirinya. Agama yang dianutnya tidak semata karena faktor keluarga dan masyarakat, tetapi merupakan pilihan sendiri. Hal ini seiring dengan beralihnya tanggung jawab keluarga kepada dirinya. Sekalipun tidak ada ritual yang formal, semacam pengucapan kembali „syahadatain‟ sebagai ciri yang menandai masuknya seseorang ke dalam komunitas keagamaam Islam, tetapi hendaknya diingatkan bahwa ketika itulah seseorang memasuki wilayah agama yang secara pasti meminta pertanggungjawaban. Penerimaan atas agama secara rasional dipandang sebagai cara beragama yang baik. Karena di dalam diri seseorang sudah tersedia ruang untuk menanggung konsekuensi dari pilihannya itu; ada usaha maksimal dari cara ini untuk hidup sesuai dengan ajaran agamanya. Dengan demikian seseorang akan menjalani kehidupan agamanya dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Dengan rela dia akan melakukan apa pun yang menjadi keharusan seorang hamba untuk mengabdi kepada Tuhannya. Kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan merupakan cara hidup terbaik; cara yang paling menyelamatkan dan akan membawa kebahagiaan. Rasionalitas yang demikian akan tercapai dengan baik apabila seseorang dilengkapi dengan pengetahuan keagamaan yang memadai. Pengetahuan agama dalam hal ini akan mengarahkan kepada pemahaman terhadap segala sesuatu yang diajarkan oleh agama. Ketika rasionalitas yang demikian dipadukan dengan emosi keagamaan, diharapkan akan melahirkan apa yang disebut dengan „kesadaran beragama‟ (religious consciousness). Ada beberapa implikasi yang juga dapat dicatat dari model afiliasi rasional ini. Implikasi pertama yang dapat dilihat dari model afiliasi rasional adalah adanya cara pandang yang positif terhadap agama. Semisal ketika seseorang memikirkan dirinya, dia dapat berpikir jernih bahwa segala sesuatu yang melekat dalam dirinya dan segala perlengkapan kehidupan yang telah tersedia di alam ini adalah anugerah Tuhan. Oleh karena itu sudah sepantasnya dan semestinya kalau dia bersikap tunduk dan patuh mengikuti kehendak Tuhan. Terdapat keyakinan dalam dirinya bahwa jalan yang telah disiapkan Tuhan merupakan „jalan terbaik‟. Kesadaran semacam itu secara tulus muncul dalam diri seseorang. Dengan kata lain ada kesadaran yang sifatnya „fitriyah‟, suatu kesadaran yang mengalir dari lubuk hatinya. Akibat positif dari cara pandang ini adalah penglihatan kepada Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Kasih; Tuhan yang telah melimpahkan demikian banyak kenikmatan hidup kepada dirinya. Kehidupan yang diperolehnya tidak disia-siakan untuk sesuatu yang tidak berguna atau bahkan mencelakai diri. Kehidupannya dimanfaatkan secara maksimal untuk mengabdi kepada Tuhan. Kehidupannya diarahkan sesuai dengan „tujuan penciptaannya‟. Implikasi kedua dari model afiliasi rasional adalah, seseorang akan dapat merasakan sepenuhnya kenyamanan dan kedamaian dalam menjalankan ajaran agama. Hatinya bagai cermin tanpa noda yang setiap saat menyerap cahaya atau nur yang bersumber dari Tuhan. Dirinya merasakan kehadiran Tuhan di mana dan kapan pun. Ketika mendapat cobaan hidup akan bersikap sabar; dan ketika mendapatkan anugerah akan senantiasa bersyukur. Semuanya dikembalikan kepada Tuhan.
Implikasi ketiga dari kepenganutan agama yang bercorak afiliasi rasional adalah berkaitan dengan konversi agama. Peristiwa konversi agama biasanya berawal dari adanya keragu-raguan yang dialami seseorang. Keragu-raguan ini dapat diperkirakan karena bekerjanya rasionalitas yang dimiliki seseorang. Rasionalitasnya bekerja ketika dia harus menerima ajaran-ajaran dari agama yang dianutnya. Ketika ada ajaran agama yang meragukan, dia terdorong untuk memperbandingkannya dengan ajaran agama lain. Atas dasar pertimbangan rasionalitasnya, saat itulah kemungkinan terjadinya perpindahan agama. Perpindahan agama yang terjadi dilakukan dengan penuh pertimbangan, dan tidak didasarkan pada adanya tekanan baik yang bercorak ekonomi maupun politik. Implikasi keempat dapat dilihat dalam hal peribadatan. Peribadatan-peribadatan yang harus dilakukan, bagi model afiliasi rasional tidak semata sebagai bentuk kewajiban. Peribadatan-peribadatan itu dilihatnya sebagai mekanisme yang akan melembagakan hubungannya secara permanen dengan Tuhan. Bagi mereka, peribadatan-peribatan itu menjadi sarana kontrol dalam rangka membangun hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Kelanggengan hubungan itu senantiasa terbina melalui mekanisme peribadatan. Dalam pelembagaan hubungan ini ada mekanisme yang rentang waktunya sangat dekat dan pendek seperti „niat‟, yang dilakukan di setiap peralihan suatu perbuatan. Niat adalah bentuk kegiatan yang mengarahkan orientasi perbuatan seseorang, apakah karena atas nama Tuhan atau karena sesuatu yang lain. Dalam pandangan Islam, orientasi yang benar adalah diatasnamakan kepada Tuhan. Siklus peribadatan ini ada juga yang model harian, semisal ibadah salat. Salat tidak semata merupakan kewajiban lima kali sehari, melainkan dilihatnya sebagai mekanisme untuk melanggengkan hubungannya dengan Tuhan. Salat juga dilihat sebagai mekanisme untuk „memperbaharui kontrak‟ dan „melembagakan kemusliman‟ seseorang. Di dalam salat itulah terdapat pengucapan „syahadatain‟ yang secara formal menandai masuknya seseorang ke dalam komunitas Islam. Ada juga peribadatan yang bersifat mingguan, seperti pelaksanaan salat Jum‟at; dan ada pula yang bercorak tahunan, seperti pelaksanaan puasa; dan haji yang dilakukan sekali seumur hidup.
Rutinitas atau sifat pengulangan (repetition) dari suatu peribadatan tidak hanya bersifat reflek, melainkan sebagai sarana pelembagaan hubungannya dengan Tuhan. Apabila hubungan ini terlembaga secara permanen, maka keterikatannya dengan Tuhan semakin kuat. Dalam suasana demikian, perasaan yang disebut „cinta kepada Allah‟ (mahabbah billah) akan tumbuh. Perasaan cinta kepada Tuhan adalah puncak kesadaran tertinggi dalam kehidupan seseorang yang beragama. Ruang di dalam hatinya tidak tersisa lagi untuk sesuatu yang lain kecuali Tuhan. Ibarat orang yang sedang jatuh cinta, yang diinginkannya adalah kapan dan di mana pun senantiasa bersama orang yang dikasihi. Dia juga rela berkorban apa saja demi menyenangkan perasaan orang yang dicintainya. Dimensi-Dimensi Keagamaan (Religiusitas)
Kelengkapan yang sempurna yang dapat mengarahkan seseorang mencapai tingkat kesadaran agama adalah dengan terpenuhinya semua dimensi keagamaan. Dimensi-dimensi keagamaan ini seperti yang dikemukakan Glock and Stark (Roland Robertson,1971:256-257) ada lima, yaitu: dimensi keyakinan (belief), dimensi peribadatan atau praktek agama (practical), dimensi pengalaman (experiential), dimensi pengamalan (consequential), dan dimensi pengetahuan agama (intellectual). Dikatakannya: Five such dimensions can be distinguised; within one or another of them all of the many and diverse religious prescriptions of the different religions of the world can be classified. We shall call these dimensions: belief, practice, experience, consequences, and knowledge (Roland Robertson, 1971:256). Pertama, dimensi keyakinan. Dimensi ini berisi seperangkat keyakinan yang terpusat pada keyakinan adanya Tuhan. Kepercayaan kepada Tuhan ini kemudian melahirkan seperangkat keyakinan yang berkaitan dengan kehidupan alam gaib dan alam nyata. Bagaimana misalnya tentang konsep penciptaan alam, penciptaan manusia dan adanya roh dalam diri manusia. Begitu pula tentang dunia lain yang akan menjadi tempat kembalinya manusia kelak. Dimensi ini pada umumnya memberikan muatan-muatan yang bercorak doktrinal.
Kedua, dimensi praktek agama atau peribadatan (ritual). Dimensi ini pada hakekatnya merupakan refleksi langsung dari dimensi pertama. Ketika agama menkonsepsikan adanya Tuhan yang menjadi pusat penyembahan, pada saat bersamaan harus ada mekanisme yang bisa dijadikan cara untuk melembagakan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Pelembagaan hubungan manusia dengan Tuhan diwujudkan dengan cara yang beraneka ragam, tetapi memiliki tujuan yang sama. Pelaksanaan praktek atau peribadatan ini biasanya mengikuti siklus tertentu. Ada yang bercorak harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Semua bentuk peribadatan itu, tidak lain merupakan sarana untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan. Lestarinya hubungan ini akan berakibat pada terlembaganya agama itu secara permanen. Ketiga, dimensi pengalaman. Pengalaman keagamaan adalah bentuk respon kehadiran Tuhan yang dirasakan oleh seseorang atau komunitas keagamaan. Respon kehadiran Tuhan dalam diri seseorang atau komunitas keagamaan tercermin pada adanya emosi keagamaan yang kuat. Terdapat rasa kekaguman, keterpesonaan dan hormat yang demikian melimpah, atau „mysterium tremendum et fascinosum‟ (Djamari, 1988:68) terhadap Tuhan. Adanya dimensi ini telah menyebabkan seseorang atau komunitas keagamaan demikian hormat dengan segala sesuatu yang dikaitkan dengan Tuhan. Sesuai dengan sifat Tuhan yang suci, segala yang terkait dengan Tuhan memiliki sifat kesucian. Kumpulan firman-Nya yang dibukukan, kemudian dipandang suci, dan mensyaratkan kesucian bagi orang yang menyentuhnya. Tempat-tempat peribadatan juga dijaga untuk tetap dalam keadaan suci. Di tempat itulah dilakukan penyembahan yang ditujukan kepada Tuhan. Begitu juga bagi orang yang melakukan peribadatan, dia harus dalam keadaan suci. Sakralitas atau kesucian Tuhan berimplikasi pada semua perbuatan manusia yang beragama. Keempat, dimensi pengamalan. Dimensi ini berupa pelaksanaan secara konkrit dari tiga dimensi di atas. Pengamalan adalah bentuk nyata dari semua perbuatan manusia yang disandarkan kepada Tuhan. Hidup dalam pengertian ini merupakan pengabdian yang sepenuhnya diabdikan kepada Tuhan. Orientasi dari semua perilaku dalam hidup semata tertuju kepada Tuhan. Komitmen seorang pemeluk suatu agama akan nampak dari dimensi yang keempat ini (Joachim Wach, 1984:185) Kelima, dimensi pengetahuan. Dimensi ini memuat konsep-konsep yang terdapat dalam suatu agama, baik berkaitan dengan sistem keyakinan, sistem norma dan nilai, mekanisme peribadatan, dan bagaimana caranya seorang beragama memiliki penghayatan yang kuat terhadap agamanya. Dimensi ini akan sangat mendukung bagi munculnya kesadaran keagamaan dalam diri seseorang yang beragama. Memperhatikan pembahasan di muka, pengetahuan keagamaan memiliki signifikansi yang kuat terhadap lahirnya kesadaran keagamaan dalam diri seseorang. Oleh karena itu dapat dimaklumi apabila dalam lingkungan agama-agama muncul semangat dakwah yang tidak hanya ditekankan pada aspek penyebaran agama, tetapi pada usaha untuk mentransferensikan pengetahuan keagamaan melalui dakwah-dakwah tersebut. Dakwah dalam pengertian ini terutama dipakai dalam lingkungan internal dari suatu komunitas keagamaan. Karena seperti pada analisis di muka, kurangnya pengetahuan agama berakibat negatif terhadap perkembangan keagamaan (religiusitas) seseorang. Dalam menuju kesadaran beragama ini, usaha yang mesti dilakukan adalah bagaimana caranya menempatkan pengetahuan keagamaan pada posisi yang fundamental-substantial. Kesan yang muncul dalam kehidupan manusia secara umum memperlihatkan adanya dikotomi di antara posisi ilmu agama dan ilmu umum. Di satu pihak ada yang lebih memperhatikan perkembangan ilmu agama, tetapi di sisi lain mengutamakan perkembangan ilmu umum. Cara pandang yang dikotomis ini hendaknya segera dihilangkan, karena sebenarnya kedua jenis pengetahuan tersebut sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia di dunia ini.
Sekalipun diakui bahwa mata pelajaran agama sudah masuk ke dalam kurikulum pendidikan, khususnya pada pendidikan umum sejak tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, tetapi pendidikan agama masih saja dilihat sebagai „pelengkap penderita‟. Pendidikan agama seakan tidak relevan untuk dipadukan dengan pengetahuan umum yang menjadi disiplin seseorang. Dengan demikian pengetahuan keagamaan sekalipun sudah dipandang fundamental tetapi masih ada pada posisi pinggiran (peripheral). Barangkali tepat apa yang dikatakan para ulama semacam al-Ghazali, yang menyatakan perlunya penekanan yang kuat terhadap kewajiban untuk mendalami ilmu agama dengan mengatakannya sebagai fardlu ‘ain, artinya wajib (Al-Ghazali, 1977:39-73). Pemilikan pengetahuan keagamaan yang dimaksud adalah, bukan pada banyaknya disiplin ilmu keagamaan yang dikembangkan di perguruan-perguruan tingggi Islam. Pengetahuan keagamaan di sini terutama pengetahuan keagamaan yang mendasar, yang akan mengarahkan seseorang pada tujuan hidupnya. Misalnya pengetahuan yang terkait dengan unsur-unsur aqidah, syari’ah dan akhlaq. Jika pengetahuan keagamaan yang dasar ini melengkapi kehidupan seseorang, disertai dengan penggunaan rasionalitas dalam memahami agamanya, maka peluang bagi lahirnya kesadaran beragama menjadi sangat mungkin. Femonena demikian inilah yang sebenarnya diharapkan dari disampaikannya pendidikan agama di lingkungan pendidikan tinggi. Nantinya diharapkan melahirkan kaum intelektual yang tidak saja mahir dalam disiplin keilmuannya, melainkan juga memahami secara tepat kedudukan agama dalam kehidupannya tersebut. Harapan ideal inilah yang selama ini belum terpenuhi sepenuhnya.
Metode Pendidikan Agama Untuk mengantarkan pendidikan agama yang membawa umat pada kesadaran beragama secara rasional, maka pendidikan agama harus dilakukan dengan cara-cara rasional pula. Pendekatan yang semata-mata sifatnya doktrinal ketika menyampaikan ajaran agama nampaknya tidak lagi relevan. Kesan yang diterima dari cara doktrinal adalah adanya keharusan menerima begitu saja setiap ajaran agama. Penyampaian-penyampaian ini misalnya terlihat ketika seorang guru atau da‟i secara monolog memberikan penegasan terhadap serangkaian kewajiban yang harus dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Pendidikan agama yang disampaikan dengan tanpa melibatkan emosi dan rasionalitas seseorang, akan berakibat pada bentuk kehidupan keagamaan yang pasif dan pasrah saja. Untuk menghindari kepasifan dan kepasrahan yang demikian, harus dilakukan perubahan dalam proses pendidikan agama. Perubahan itu adalah dengan cara melibatkan emosi dan rasionalitas para penganut agama dalam memahami agama yang menjadi anutannya. Oleh karena itu, pendidikan agama tidak lagi dilakukan dengan cara-cara doktrinal dan monolog. Pendidikan agama harus disampaikan secara dialog dan kritis. Keterlibatan emosi dan rasionalitas akan memberikan kepuasan dalam diri seseorang dalam beragama. Dialog-dialog dan percakapan yang kritis ini bisa dimulai sejak seseorang memasuki pendidikan lanjutan tingkat pertama, yaitu masa seseorang mamasuki aqil-baligh. Usia aqil-baligh ini setara dengan usia seseorang saat memasuki pendidikan tingkat lanjutan pertama. Sementara pada pendidikan dasar, pelibatan emosi dan rasionalitas ini disesuaikan dengan tingkat kecerdasan mereka, yaitu dengan mengembangkan rasionalitas sederhana. Ringkasnya, pendidikan agama menghindari penyampaian ajaran agama yang semata-mata doktrinal. Pendidikan agama yang melibatkan emosi dan rasionalitas diharapkan dapat melahirkan umat beragama yang benar-benar memahami dan memiliki agamanya; seseorang yang menyadari betul kedudukan agama dalam kehidupannya. Kesadaran beragama yang diperolehnya muncul bukan sekadar paksaan doktrinal, melainkan bersandarkan kepada kepahaman terhadap ajaran agama. Beragama dengan cara demikian lebih memberikan kepuasan, karena secara emosional dan rasional dia merasakan manfaat yang diperoleh dari beragama. Agama dilihatnya sebagai anugerah Tuhan yang akan membawa kemanfaatan terhadap kehidupannya.
Ada sejumlah pendekatan dalam pendidikan agama yang bisa dilakukan dan diperkirakan dapat mengarahkan peserta didik pada tingkat emosi dan rasionalitas secara seimbang dan memadai. Menurut Douglas Superka (A. Atmadi, 2000:77) model pendekatan seperti itu sering diberi nama metode VCT (Value Clarification Technique). Metode ini meliputi beberapa tahapan pendekatan, antara lain: Pertama, Pendekatan Evokasi atau Ekspresi Spontan. Pada tahapan pendekatan ini para peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan penuh untuk mengungkapkan atau mengekspresikan tanggapan, perasaan, penilaian, dan pandangannya terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan agama dan ajaran-ajaran agama. Melalui pendekatan ini akan diketahui keterikatan emosional dan rasional peserta didik. Kedudukan atau posisi agama akan dapat ditelusuri sejauh mungkin dalam kehidupan seorang peserta didik. Melalui pendekatan ini akan terungkap ekspresi yang sifatnya emosional maupun rasional, atau penilaian yang bersifat positif atau negatif. Kedua, Pendekatan Sugestif Terarah. Pada tahapan pendekatan kedua ini peran seorang pendidik sangat menentukan. Pada tahapan ini, melalui stimulus yang sudah direncanakan, peserta didik „digiring‟ atau „diarahkan‟ secara emosional dan rasional menuju suatu pemahaman atau kesimpulan yang sudah ditentukan. Pada tahapan ini, sekalipun merupakan tahapan „pengarahan‟ atau „penggiringan‟, tidak berarti tahapan ini didominasi oleh pendidik. Tahapan pendekatan ini tetap melibatkan peran aktif peserta didik. Ketiga, Pendekatan Pertanyaan Menyelidik (Inquiry Questioning). Ketika tahapan pendekatan kedua berlangsung, agar keterlibatan emosi dan rasionalitas peserta didik dapat terpadu dengan baik, maka „pengarahan‟ atau „penggiringan‟ itu dilakukan melalui pendekatan „pertanyaan menyelidik‟ atau inquiry questioning. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menyelidik ini bisa dilakukan dalam bentuk pertanyaan bersayap (horizontal) dan bertingkat (vertikal). Pertanyaan-pertanyaan ini berangkat dari persoalan-persoalan yang sangat kongkrit dan sangat sederhana menuju persoalan-persoalan yang bersifat konseptual atau abstrak.
Pertanyaan menyelidik ini bisa diberlakukan untuk semua bidang atau unsur-unsur pokok keagamaan, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq. Dalam bidang aqidah misalnya, berangkat dari pertanyaan mengenai dirinya sendiri bisa diarahkan sampai pada konsep penciptaan yang berpusat kepada Tuhan. Masih berkaitan dengan persoalan dirinya, juga bisa diarahkan sampai pada konsep ketentuan Tuhan, baik yang berupa syari‟at maupun akhlak. Pertanyaan menyelidik ini bisa dilakukan di setiap jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa disiapkan sedemikian rupa oleh pendidik. Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, maka peserta didik terlibat secara langsung dalam memahami setiap ajaran agama, sekaligus juga membangun emosionalitas mereka secara rasional. Melalui tiga tahapan pendekatan di atas diharapkan akan menghasilkan apa yang disebut kesadaran beragama (religious consciousness). Secara keseluruhan pendekatan yang demikian, seperti dikemukakan Kohlberg (A. Atmadi, 2000:78) dapat disebut dengan Cognitive Moral Development (Pembangunan Moral Secara Kognitif). Melalui pendekatan ini, pengajaran afektif yang berupa pendidikan agama dapat benar-benar memberikan sumbangan dalam membangun kesadaran religius peserta didik.
Penutup
Dari paparan di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Afiliasi seseorang untuk menjadi pengikut suatu agama tertentu dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui model afiliasi tradisional dan afiliasi rasional. Kedua cara ini memiliki implikasi yang berbeda, antara lain melihat agama sebagai sebuah „paksaan‟ di satu sisi, sementara di sisi lain agama dilihatnya dengan penuh kesadaran karena merupakan cara Tuhan untuk menyelamatkan kehidupan manusia.
2. Untuk menuju kesadaran keagamaan yang utuh, maka setiap umat beragama harus memenuhi dimensi-dimensi keagamaan secara keseluruhan. Dimensi-dimensi itu ialah: dimensi keyakinan, dimensi peribadatan, dimensi pengalaman, dimensi pengamalan dan dimensi pengetahuan. Dari dimensi tersebut, dimensi pengetahuan sangat berperan terhadap munculnya kesadaran keagamaan.
3. Agar kesadaran keagamaan itu muncul dengan baik dalam kehidupan seorang penganut agama, maka model pendidikan agama sangat menentukan. Untuk itu, model pendidikan keagamaan yang harus dikembangkan tidak lagi semata bersifat doktrinal, dengan menekankan serangkaian ajaran dan kewajiban kepada pemeluk agama, melainkan pendidikan agama harus dilakukan dengan melibatkan emosi dan rasionalitasnya. Pelibatan emosi dan rasionalitas ini tentu saja disesuaikan dengan tingkat kecerdasan peserta didik.
4. Pembangunan emosi dan rasionalitas peserta didik yang akan mengantarkan pada kesadaran keagamaan (religious consciousness) dapat dilakukan melalui metode Value Clarification atau Cognitive Moral Development yang meliputi pendekatan ekspresi spontan, sugestif terarah dan pertanyaan menyelidik.

Daftar Referensi
A.Atmadi dan Y. Setiyaningsih (ed.). (2000). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma. Al-Ghazali. (1977). Ihya ‘Ulum al-Din. Penerjemah Tk. H. Ismail Yakub, Ihya Al-Ghazali. Kudus: Menara Kudus. Ancok, Jamaluddin (ed.). (1994). Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anshary, Endang Saifuddin. (1979). Ilmu, Fisafat dan Agama. Surabaya: Penerbit Bina Ilmu. Djamari. (1988). Agama Dalam Perpektif Sosiologi. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti. 20
Geertz, Clifford. (1989). The Religion of Java. Penerjemah Aswab Mahasin, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya Nottingham, Elizabeth K. (1985). Religion And Society. Penerjemah Abdul Muis Naharong, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali Press. Robertson, Roland (ed.). (1972). Sociology of Religion. Victoria: Penguin Books Australia Ltd. Sastrapratedja (ed.). (1982). Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia. Thoules, Robert H. (1992). An Introduction to the Psychology of Religion. Penerjemah Machnun Husein, Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Press. Uren, A. Rudolph. (1928). Recent Religious Psychology. Edinburgh: T. & T. Clark. Wach, Joachim. (1984). The Comparative Study of Religions. Penerjemah Djamannuri, Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Rajawali Press. Bio Data: Ajat Sudrajat, Dr., M.Ag., adalah pengajar mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan Sejarah Islam pada Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan MKU Universitas Negeri Yogyakarta. Sekarang yang bersangkutan sedang mengikuti program Doktor di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya ilmiahnya yang pernah diterbitkan antara lain: Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Cakrawala Pendidikan, 1999); K.H. Ahmad Rifa‟i Dan Gerakan Protes Sosial Abad 19 (Jurnal Informasi, 2000); Perkembangan Islam di Singapura (Jurnal Informasi, 2000).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar